50 Ribu Warga Korsel Ramai-ramai Demo Tolak Jepang Buang Limbah Nuklir Ke Laut

50 Ribu Warga Korsel Ramai-ramai Demo Tolak Jepang Buang Limbah Nuklir Ke Laut

Pada hari Sabtu (26/8), gelombang manusia dari berbagai penjuru Korea Selatan (Korsel) meluncur ke jalan-jalan. Mereka dengan gemuruh mengutarakan keprihatinan mendalam mengenai situasi yang melibatkan pembuangan limbah air radioaktif dari pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) Fukushima Daiichi yang dimiliki oleh Jepang. Langkah kontroversial ini dilakukan pada hari Kamis (24/8).

Sejumlah besar penduduk, mencapai angka 50 ribu orang, dengan tegas menyuarakan tuntutan kepada pemerintah untuk mengambil tindakan-tindakan strategis guna mencegah dampak yang mungkin timbul dari pembuangan limbah PLTN Fukushima tersebut. Dampak dari kasus ini telah merambat dengan cepat, menghampiri hampir seluruh warga Korsel.

Tidak hanya dalam ungkapan kekhawatiran yang diucapkan secara lisan, mereka juga menunjukkan aksi nyata dengan membeli ikan dalam jumlah besar sebelum tanggal “X” ketika pelepasan air limbah PLTN Fukushima dijadwalkan terjadi. Para penduduk berhati-hati dalam memastikan bahwa ikan-ikan tersebut ditangkap sebelum terkontaminasi oleh air limbah yang dikhawatirkan mengandung radiasi nuklir.

Choi Kyoungsook dari kelompok Korea Radiation Watch, yang menjadi pihak yang mendominasi perhelatan protes di Seoul, berpendapat, “Dampaknya tidak akan langsung terlihat, seperti terdeteksinya unsur-unsur radioaktif dalam biota laut. Tetapi, pelepasan ini berpotensi memberikan risiko pada mata pencaharian nelayan lokal dan karenanya, diperlukan upaya serius dari pemerintah untuk menemukan solusi yang berkelanjutan.”

Merujuk pada apa yang telah disampaikan oleh Jepang, mereka dan Badan Energi Atom Internasional (IAEA) bersikeras bahwa tindakan mereka aman dan bahwa air yang dilepaskan telah melalui proses pengolahan. Meskipun Tokyo meyakinkan bahwa air tersebut bebas dari ancaman, keraguan tetap ada di banyak kalangan.

Dalam sudut pandang nelayan dan lingkungan, banyak yang merasa risau akan potensi konsekuensi jangka panjang dari langkah tersebut. Suara-suara kritis terus bersahutan, mencerminkan kecemasan yang meluas mengenai dampak terhadap ekosistem laut dan lingkungan alaminya.

Meskipun Tokyo Electric Power Company (TEPCO), yang bertanggung jawab atas operasional PLTN tersebut, menjelaskan bahwa air yang dilepaskan telah disaring dan hanya tersisa isotop radioaktif hidrogen yang sulit dipisahkan yang dikenal sebagai tritium, masih ada kebingungan dan perdebatan yang mengelilingi masalah ini.

Kemarin, pada tanggal 27 Agustus, Badan Perikanan Jepang menyampaikan bahwa hasil pengujian pada ikan-ikan yang berada di perairan sekitar PLTN Fukushima tidak menunjukkan adanya kadar tritium yang mengkhawatirkan. Demikian pula, tingkat radioaktivitas di perairan Fukushima tetap berada dalam ambang batas yang dianggap aman.

Terkait dengan langkah ini, pihak Jepang mendasarkan keputusannya pada kenyataan bahwa kapasitas tangki penyimpanan yang dapat menampung 1,3 juta ton air sudah mencapai batas maksimalnya. Angka ini setara dengan volume air yang diperlukan untuk mengisi 500 kolam renang ukuran Olimpiade. Rencananya, pelepasan pertama sebanyak 7.800 meter kubik, setara dengan tiga kolam renang Olimpiade, akan berlangsung selama periode 17 hari.

Dengan gerakan demonstrasi dan suara kritis yang semakin berkembang, isu ini tidak hanya menjadi pertarungan lokal antara Korea Selatan dan Jepang, tetapi juga menghadirkan pertanyaan global tentang bagaimana manusia mengelola dampak dari teknologi nuklir yang rumit dan kontroversial.