Kalimantan merupakan daerah yang begitu banyak cerita entah itu dari adat istiadat, tradisi, suku maupun keragaman khas kalimantan yang banyak di kenal orang. Salah satunya Namanya adalah suku Punan Batu. Punan Batu diyakini menjadi satu-satunya kelompok yang masih mempertahankan cara hidup meramu dan berburu seperti manusia prasejarah.
Mengenal Fakta Tentang Suku Punan Batu
Ada banyak fakta menarik untuk diulik mengenai masyarakat Punan Batu. bagaimana cara suku pedalaman ini hidup di tengah hutan Kalimantan, juga sejarah dan cerita yang berkembang di dalam kelompok mereka.
Punan Berbeda Dengan Dayak
Terdapat kesalahan yang beredar mengenai suku Punan, menyebut bahwa Punan termasuk ke dalam bagian dari suku Dayak Kenyataannya, Punan berbeda dengan Dayak. Dayak sendiri merupakan istilah untuk masyarakat asli Kalimantan yang hidup dengan tradisi berladang. Sedangkan orang-orang Punan menerapkan hidup berburu dan meramu.
Bukti lainnya dapat dilihat melalui ilmu genetika. Pradiptajati Kusuma, pakar genetika dan evolusi populasi mengatakan Punan Batu tidak memiliki genetika Austronesia seperti Dayak dan masyarakat lain yang memiliki kebiasaan bercocok tanam. Hal ini diketahui lewat riset kolaborasi lintas negara yang dilakukan Pradiptajati bersama sejumlah peneliti dan organisasi, termasuk Lembaga Eijkman yang sekarang telah dibubarkan oleh pemerintah.
Pradiptajati menjelaskan Punan Batu memiliki ciri genetika Pra-Austronesia. Leluhur mereka diperkirakan sudah tiba di Kalimantan pada 8.000 tahun lalu. Berdasarkan penelitian, leluhur Punan Batu berasal dari Asia daratan, sebagaimana orang Aslian di Malaysia. Jika dirunut lebih jauh lagi, berbagi leluhur dengan orang Andaman yang bermigrasi puluhan ribu tahun lalu dari Afrika. Selain itu, Punan Batu juga mendapat campuran genetik dari leluhur Pra-Austronesia di Asia Timur.
Cara Hidup Punan Batu
Punan Batu masih mempertahankan cara hidup berburu dan meramu. Beberapa keluarga memang sudah mulai mempelajari cocok tanam. Namun jumlahnya terbatas karena mereka menganggap itu akan menyalahi budaya leluhur mereka.
Bisa dikatakan, Punan Batu benar-benar hidup dengan bergantung pada kelestarian hutan. Suku pedalaman Kalimantan ini berburu hewan dan ikan di sungai, serta makan umbi-umbian yang ada di hutan. Selain berburu dan meramu, mereka juga menjalani pola hidup nomaden atau berpindah-pindah.
Biasanya, orang-orang Punan Batu hanya tinggal 8 hingga 9 hari di satu goa atau pondok. Kemudian, mereka akan pindah ke goa atau pondok lain yang jaraknya 4,5 km. nama Batu yang disematkan pada kelompok ini karena mereka kerap tinggal di dalam ‘batu’, yang dalam bahasa lokal artinya goa.
Bahasa ini khusus hanya digunakan oleh Punan Batu karena orang Dayak atau bahkan kelompok Punan lain tidak memahami bahasa itu. Biasanya, Latala dituturkan dalam bentuk nyanyian. Menurut Lansing, seorang antropolog dan ahli bahasa, Latala merupakan kunstsprache, yaitu bahasa kuno yang pernah dipakai leluhur, tapi sekarang digunakan secara eksklusif untuk ekspresi tertentu, mirip dengan bahasa Yunani Homer, Latin, atau Jawa Kuno. Ia menyebut Latala merupakan warisan budaya kuno dan menjadi bukti yang membedakan Punan Batu dengan kelompok lain.
Satu hal lagi yang menarik untuk diketahui dari cara hidup Punan Batu adalah bagaimana mereka berkomunikasi. Mereka berkomunikasi dengan sesama suku pedalaman di hutan Kalimantan menggunakan ranting dan dedaunan. Misalnya, untuk memperingatkan kelompok lain tidak mendekat karena ada yang sakit di kelompok mereka. Orang Punan Batu akan meletakkan ranting dengan daun yang telah diberi lubang di jalan menuju goa tempat tinggal mereka. Simbol lain, yaitu daun digulung digunakan untuk meminta bantuan berupa makanan.
Kisah Punan Batu dan Kesultanan Bulungan
Ada sebuah kisah yang disampaikan secara turun temurun di dalam kelompok Punan Batu. Disebutkan bahwa pada masa silam, Kesultanan Bulungan masuk ke hutan Kalimantan dan menjalin hubungan dengan nenek moyang suku pedalaman ini. Lalu, pada suatu peristiwa, orang Punan Batu menyerahkan Gunung Benau beserta segala sumber daya di dalamnya kepada kerajaan itu. Termasuk sarang burung walet yang banyak ditemukan di goa yang ada di Gunung Benau.
Sejak saat itu, orang Punan Batu dipekerjakan oleh para ahli waris Kesultanan Bulungan untuk mengambil sarang burung walet. Sebagai gantinya, mereka akan diberikan barang-barang yang tidak ada di hutan seperti tembakau, parang, beras, dan barang-barang ‘kota’ lainnya.
Orang-orang Punan Batu terlambat mengetahui bahwa sarang burung walet memiliki harga yang cukup tinggi saat dijual. Dan sekarang, setelah mereka tahu, suku pedalaman Kalimantan ini sudah tak punya hak lagi untuk menjual sarang burung walet ke pihak lain, kecuali Kesultanan Bulungan.
Saat ini, tidak lebih dari 100 orang Punan Batu yang masih bertahan. Mereka dihadapkan berbagai masalah hanya untuk bertahan hidup. Salah satunya adalah mengenai ruang hidup mereka yaitu hutan, sebab hutan kian menyempit karena didesak perkebunan sawit. Padahal, tidak hanya sebagai tempat tinggal, seluruh kehidupan Punan Batu pun bergantung pada hutan.
Dalam ketidakjelasan masa depan yang menghadang merek, hanya mengharapkan kebijakan dan tanggungjawab pemerintah akan hutan. Apabila pemerintah tidak kunjung menjembatani dan mengintervensi masalah ini, bukan tidak mungkin eksistensi Punan Batu sebagai suku pedalaman Kalimantan akan semakin menipis hingga akhirnya tinggal menjadi cerita.